The Raid, Film Indonesia Terbaik Tahun Ini - Fakta bahwa film ini mendapatkan penghargaan dari tiga festival luar negeri dan versi rilis Amerika Utara menggunakan soundtrack hasil aransemen Mike Shinoda, terbukti menjadi magnet kuat yang menarik penonton muda.
Berbeda dengan sekuel pertamanya, Merantau (2009), eksposur sekuel keduanya ini begitu masif. Film ini The Raid disebut-sebut termasuk dalam 20 film laga terbaik sepanjang masa. Bahkan saking bagusnya film The Raid ini dinilai, tersiar kabar bahwa film ini akan dibuat versi Hollywood-nya. Dengan keringnya pustaka film laga Indonesia setelah selama hampir dua dekade, sebagus itukah film besutan sutradara Gareth Evans ini?
Film The Raid dibuka dengan scene seorang Rama (Iko Uwais) yang bersiap pergi bertugas sebagai anggota dari pasukan buru sergap polisi. Bersama 17 orang lainnya dan 1 komandan, Sersan Jaka (Joe Taslim), mereka akan menyerbu sebuah apartemen yang dikepalai penjahat paling dicari di seluruh kota, Tama (Ray Sahetapy). Dikepalai? Ya, dengan dua asistennya yang terpercaya Mad Dog (Yayan Ruhian) dan Andi (Doni Alamsyah), Tama mengepalai apartemen yang di tiap lantainya penuh dengan segala jenis penjahat yang membayar kepadanya untuk bisa tinggal di sana.
Sampai di apartemen, mereka bertemu dengan inisiator penyerbuan ini, Letnan Wahyu (Pierre Gruno). Satu lantai demi satu lantai mereka menyisir dan melumpuhkan penjahat dengan rapi, sampai akhirnya seorang anak memergoki penyerbuan rahasia ini dan alarm tanda bahaya diaktifkan. Seketika lewat monitor yang berjejer di kantornya Tama mengetahui ada penyusup dan lewat pengeras suara ia mengumumkan kepada semua penguni bahwa mereka kedatangan tamu tak diundang.
Dari sini, pintu neraka terbuka lebar. Para penjahat penghuni apartemen dengan beringas bahu-membahu membantai tim polisi ini dengan segala jenis senjata mematikan yang mereka punya. Yang pada awalnya adalah misi penyerbuan, kini berubah total menjadi misi bertahan hidup. Mampukah tim ini bertahan? Apakah misi untuk menyeret Tama akan berhasil? Semuanya akan terjawab jika Anda menyaksikan film The Raid ini sendiri.
Kalau Anda sudah pernah menyaksikan sekuel pertama film ini dan menganggap laga yang disajikannya begitu keras, maka Anda akan menahan nafas di sepanjang sekuel keduanya ini, karena kerasnya laga yang disajikan 10 kali lebih hebat! Apakah saya berlebihan? Tidak, karena ekskalasi kekerasan di sekuel ini ditandai dengan ledakan senjata, teknik pembunuhan yang brutal, perkelahian yang jauh lebih keras serta melibatkan jauh lebih banyak orang, dan yang terbaik dari semuanya: darah!
Dari skala 1-10 saya memberikan nilai 9 untuk film ini! Banyak sekali faktor yang membuat saya memberikan nilai hampir sempurna. Pertama, tentang kerasnya laga. Jika dalam trilogi Bourne, film laga terakhir yang saya anggap terbaik, sudah menyajikan aksi yang sangat brutal, maka film ini jauh melampauinya dalam kualitas kekejaman. Dan, memang seharusnya seperti itulah film laga dibuat: brutal, penuh darah, dan tidak mudah berakhir.
Walaupun tidak ada yang istimewa dalam perkara plot, film ini menyusun penceritaannya dengan sangat runut sehingga lompatan scene berjalan dengan mulus. Untuk urusan sinematografi, film ini layak diacungi jempol. Pengambilan gambar yang sangat kreatif ditambah tata cahaya yang pas membuat film ini nyaman sekali disaksikan dari awal hingga akhir. Selain itu, yang menjadi aspek penilaian tertinggi film ini adalah efek visual. Anda bahkan akan sedikit tak percaya jika efek visual yang luar biasa ini sanggup diciptakan film laga lokal.
Kualitas akting mereka pun terbilang baik, terutama Ray Sahetapy yang berhasil mengesankan seorang bos penjahat yang percaya diri dan berdarah dingin. Yayan Ruhian yang disebut-sebut sebagai “bintang sebenarnya” di film ini juga terbukti memang luar biasa. Sebaliknya, walaupun aktingnya tidak buruk, Iko Uwais harus memperbaiki artikulasinya. Dialog yang disusun terasa pas dan tidak berlebihan, bahkan di beberapa scene masih terselip beberapa dialog yang membuat penonton tertawa dan sejenak menurunkan tensi ketegangan.
Namun dari nilai yang hampir sempurna itu apakah ada kekurangan dari film ini? Jelas, dan kekurangan itu terletak pada hal-hal detail yang berhubungan dengan logika cerita. Yang paling mengganggu adalah di film ini diceritakan bahwa Tama memantau situasi lewat kamera pengintai. Hingga film berakhir hanya satu kamera yang rusak dari sekian banyak. Padahal mematikan kamera pengintai adalah hal pertama yang paling lumrah dilakukan jika Anda adalah seorang penyusup.
Selain itu, terdapat keanehan scene pembantaian supir mobil polisi yang sangat mengganggu. Di tengah penyerbuan yang genting, sang supir malah asyik membaca koran dan akibatnya dibantai oleh penjahat. Pembantaiannya juga tak kalah aneh. Selain karena dilakukan menggunakan senapan mesin oleh terlalu banyak orang, setting terlihat “bocor” karena di latar belakang terlihat jalanan kota yang ramai oleh lalu lintas mobil.
Lantas setelah sepanjang hari kehidupan gedung berubah menjadi medan perang, pada scene-scene akhir masih ada saja workshop narkoba di dalam gedung, di mana pegawainya bekerja dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Selain itu, untuk penyerbuan yang telah direncanakan, sungguh janggal pengarahan dasar masih dilakukan ketika mereka menuju lokasi. Lalu mengingat jumlah lawan yang dihadapi, hanya satu di antara 20 polisi itu yang membawa granat.
Masih ada beberapa lagi detail minor yang menjadi kekurangan dalam film dan mungkin akan Anda temukan sendiri. Lantas dengan demikian apakah film ini masih bisa disebut sebagai yang terbaik tahun ini? Hell yeah! Dengan segala pencapaian sinematika yang berhasil diciptakan, film ini berhak menyandang gelar prestisius itu. Setidaknya sampai pertengahan tahun ini. Totalitas adalah kunci dari film penuh adrenalin dari awal hingga akhir ini.
Totalitas film, juga menjadi kata kunci peringatan bagi Anda yang tidak siap menyaksikan adegan pembacokan, benturan kepala dan badan super keras, tebas leher sana-sini, penembakan kepala secara close-up, dan cipratan darah yang melimpah. Jika Anda tidak cukup “matang” untuk adegan-adegan yang berpotensi membuat Anda ciut dan mual, maka Anda sebaiknya tidak menyaksikan film The Raid ini.
Begitu juga bagi Anda yang memiliki anak kecil atau remaja. JANGAN MENJADI BODOH dengan mengajak mereka menonton film ini dengan anggapan film ini tidak sekeras yang Anda duga. Percayalah, film The Raid ini bukan lagi keras, namun super brutal. Dan sudah seharusnya anak-anak Anda dijauhkan dari film semacam ini, kecuali Anda ingin anak Anda menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.
Namun bagi Anda yang cukup matang dan bijak, Anda wajib menyaksikan film The Raid yang bagus ini di bioskop dengan tata gambar dan suara yang membahana, agar mendapatkan sensasi yang semestinya. Selain jeritan beberapa penonton, film ini sukses menguras adrenalin, nafas tersengal, otot yang tegang, dan akhirnya beberapa penonton pun terlihat sibuk menutup muka dan duduk gelisah karena tak tahan melihat adegan demi adegan yang kejam.
The Raid Sepanjang hidup saya tidak lebih dari 5 film di mana seluruh penonton di studio bertepuk tangan ketika keseruan sebuah scene berakhir. Dan tak lebih pula dari 4 film di mana ketika lampu studio menyala, mayoritas penonton tetap duduk terdiam untuk beberapa waktu, masih mencoba mengatur nafas. 3 di antara 4 film itu, adalah film horor.
Selamat menonton!